Saturday, December 03, 2011

Akira Miyu



Sembilan belas tahun yang lalu aku dilahirkan, tepatnya pada tanggal 16 maret tahun 1992. Seorang bayi mungil berkulit coklat yang sangat lucu karena terlihat tidak memiliki leher, mungkin karena terlalu gendutnya. Begitulah aku membayangkan diri ku ketika masih bayi, karena tidak ada foto yang tersisa dari masa kanak – kanak ku. Semua foto itu menghilang entah kemana karena kebiasaan orang tua ku yang suka berpindah – pindah tempat tinggal. Dan entah mengapa, hanya sedikit kenangan yang masih bisa ku ingat tentang masa kecilku, entah karena keterbatasan ku untuk mengingat atau apa, aku juga kurang mengerti.

Ku habiskan masa kanak – kanak ku di daerah transmigrasi di pedalaman provinsi sumatera selatan. Walaupun hanya terhitung lima tahun aku tinggal disana, tapi hanya disitulah ku ingat tentang masa kecilku. Bermain bersama kakak ku, mengikutinya kemana pun ia pergi, pergi memancing ikan, bermain bersama teman – temannya, dimana ada dia, pasti ada aku. Bukannya karena ia berbaik hati selalu mengajak ku, tapi karena aku yang merengek – rengek untuk selalu ikut dengannya, dan ia akan dimarahi mama kalau menolak membawa ku ikut serta. Yah begitulah akhirnya, walaupun dengan kesal dan berat hati, ia selalu bersama ku. Hmm, aku merindukan masa itu, masa ketika aku belum mengerti apa – apa. Aku bebas untuk bermain dan melakukan apapun. Tanpa ada yang perlu di khawatirkan ataupun dipikirkan. Tapi inilah hidup, terus berjalan dan tidak akan pernah menunggu ataupun kembali ketika kau memintanya.
Pada libur kenaikan kelas, keluarga ku mendapat kabar kalau nenek ku dari mama sedang sakit keras. Akhirnya orang tua ku memutuskan untuk menjenguknya, kami pergi bersama – sama ke lampung, kota metro tepatnya. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, keluarga ku diminta tetap tinggal di metro untuk menjaga dan mengurus nenek. Jadilah kami sekeluarga pindah, tanpa mengucapkan selamat tinggal pada tempat tinggal ku sebelumnya. Aku pindah ke sekolah baru di metro. Saat itu aku masih duduk di kelas lima dan kakak ku duduk di kelas enam. Dua orang murid baru dari desa, lumayan menarik perhatian, walaupun sempat diejek beberapa orang murid karena agak kampungan. Namun aku termasuk murid yang memiliki otak cemerlang, hingga dalam sekejap mereka bisa menerima ku dengan tangan terbuka  sebagai teman mereka.
Lulus dari SD aku melanjutkan sekolah ku ke SMP. Awalnya aku mendaftar di SMP favorit, namun aku kurang beruntung saat itu. Akhirnya dengan terpaksa aku mendaftar di SMP baru yang belum memiliki gedung sekolah, kakak kelas dan semua yang sudah dimiliki sekolah – sekolah lain pada umumnya. Menjadi anak pertama dan pasti menyedihkan karena belum memiliki fasilitas apa – apa. Tapi di sana aku bertemu teman – teman yang cukup menyenangkan. Waktu itu aku termasuk dalam anak terpopuler di sekolah. Itu karena aku juara umum di sekolah, menjabat sekretaris osis dan termasuk dalam anggota genk anak – anak highclass. Walaupun aku bukan anak orang berada, namun aku terlihat sombong dan angkuh karena bergabung bersama mereka. Sebenarnya aku bersikap biasa saja, hanya cenderung tidak banyak bicara, hingga terkesan sombong sebagai orang yang dikenal terlalu pandai. Itulah kesan yang melekat di benak teman – teman sekolah tentang diriku.
Karena itulah saat SMA aku tidak terlalu ingin unjuk gigi. Aku tidak ikut kegiatan ekskul atau apapun yang membuatku di kenal warga sekolah. Menjadi murid biasa dengan kemampuan yang biasa. Namun herannya tetap saja banyak yang mengenalku, entah karena kemiripan dan kesamaan nama ku dengan kakak ku yang menjadi kakak kelas ku juga, atau karena guru seni lukis ku yang terlalu memamerkan gambar hasil kerja ku ke seluruh kelas x. Yang pasti saat aku naik ke kelas xi ipa, sudah banyak yang mengenalku, padahal aku tidak mengenal mereka. Lulus dari SMA, di situlah baru kehidupanku dimulai. Belajar tentang hidup dan kehidupan.
Aku tidak pernah merencanakan apa yang akan ku lakukan setelah aku lulus sekolah. Tidak seperti teman – teman ku yang ingin melanjutkan kuliah. Itu karena papa ku hanya sanggup untuk menyekolahkan semua anak – anaknya sebatas lulus SMA saja. Dan setelah itu, kami bertanggung jawab pada diri dan masa depan kami masing – masing. Aku yang terlahir sebagai anak bungsu yang selalu bergantung pada kakak – kakak ku dan orang tua ku belum siap menentukan masa depanku. Kebetulan saat itu aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti SNMPTN dengan gratis. Karena aku belum tau apa yang akan ku lakukan untuk hidupku, aku memutuskan untuk ikut tes tersebut. Dengan niat coba – coba, aku lulus tes itu. Namun disitulah ujian itu datang. Orang tua ku tidak sanggup untuk membantu membiayai ku berkuliah. Seperti yang sudah dikatakan papa sebelumnya. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan kesempatan itu. Walaupun banyak yang menyayangkan, termasuk papa. Ia terlihat begitu menyesal karena tidak bisa mendukung ku berkuliah. Aku berusaha berbesar hati menerimanya, walaupun berat. Selama satu tahun aku mencoba mencari pekerjaan, namun entah mengapa kesempatan itu tidak pernah datang. Sampai ada seorang temanku yang mengajak ku ikut bersamanya mengadu nasib di pulau jawa, tangerang tepatnya. Ia sudah bekerja disana selama satu tahun dengan penghasilan yang lumayan. Dengan niat menggapai keinginan ku untuk berkuliah dengan uangku sendiri, aku meminta ijin keluargaku untuk pergi, awalnya mereka keberatan, namun karena aku memaksa dan mereka pun tidak tega melihatku yang terus menghabiskan waktu ku dengan hanya berdiam diri di rumah saja, akhirnya mereka mengijinkanku pergi, tapi tetap dengan pengawalan papa untuk awalnya. Karena walaupun bagaimana pun, mereka belum bisa percaya si bungsu ini bisa pergi jauh dan mengurus dirinya sendiri.
            Pertama melihat kehidupan di luar sana, hatiku terasa miris. Sebegitu beratnya perjuangan hidup, hingga orang – orang rela berpisah dari keluarganya, hidup dengan kondisi seadanya di negeri perantauan hanya untuk mencapai sebuah ‘kesuksesan’. Yang entah mereka mengerti atau tidak maknanya. Yang jelas bagi mereka sukses itu berarti memiliki uang yang banyak. Hmmh, padahal apalah artinya kehidupan ini kalau melulu soal uang dan soal mengejar dunia semata. Karena setelah mendapatkannya akan terasa kosong dan tidak berguna saja, seolah semuanya menjadi sia – sia dan semu. Tapi disanalah aku banyak belajar. Dari pengalaman hidup di sanalah akhirnya aku memutuskan untuk mencari makna kehidupan dan arti hidup ku. Mencoba kembali kepada hakikat ku diciptakan ke dunia ini. Mencari tuhanku dan berusaha untuk kembali pada Nya.

No comments:

Post a Comment

Thanx 4 d'comment ... ^_^